Minggu, 04 Desember 2011

Cinta Tak Tergantikan

Kaki-kaki telanjang itu, terus menelusuri padang pasir yang tandus itu. Mereka sama sekali tidak peduli dengan panasnya udara padang pasir yang memanggang kulit mereka. Bahkan satu, dua di antara mereka sudah mulai kelelahan. Korban-korban berjatuhan, karena sudah tidak sanggup lagi menahan panasnya gurun sahara yang luas, yang suhunya hampir mendekati 47 derajat celcius. Perjalanan itu masih panjang, dan masih melelahkan. Dan mereka sudah tidak sanggup lagi, andaikan perintah itu bukan datang dari manusia yang paling dikaguminya dan paling disayangnya, niscaya mereka tidak akan mau melakukan perjalanan gila ini. Apalagi di puncak musim panas seperti ini. Karena semuanya sangat beresiko. Mereka bisa mati kepanasan dan kekeringan. Tapi mereka sudah tidak punya pilihan lagi. Itu adalah perintah di atas perintah. Walaupun mereka harus mati di tengah jalan, walaupun mereka harus melawan panasnya terik matahari di tengah padang pasir yang tandus, mereka harus melakukannya. Demi satu tujuan, menyelamatkan selembar iman yang telah dititipkan ke dalam hati mereka.
Sungguh, betapa tidak kuasanya hati mereka meninggalkan laki-laki kharismatik itu. Mereka semua telah bertekad di dalam hati akan selalu membersamainya, apapun yang terjadi. Mereka tidak peduli dengan penyiksaan yang mereka alami, asalkan mereka tetap bersama laki-laki sederhana itu. Bercucuran air mata ketika mereka akan meninggalkan lelaki perkasa itu. Tapi semuanya telah di atur sedemikian rupa. Dan lelaki perkasa yang luar biasa itu berjanji kepada mereka, akan menyusul mereka secepatnya. Pelukan-pelukan harupun terjadi, ketakutan untuk tidak berjumpa lagi memenuhi ruang hati. Tapi lihatlah, lihatlah tatapan matanya yang teduh itu, telah mendamaikan hati orang-orang yang melihatnya. Telah menghidupkan keberanian yang membaja di hati mereka. Mereka yakin, ini adalah jalan yang terbaik.
Berhari-hari sudah mereka menempuh gurun sahara yang tandus itu. Korban semakin banyak berjatuhan, bekal perjalanan yang tidak seberapa itupun semakin hari semakin menipis, sementara tempat tujuan mereka masih jauh. Sepanjang mata memandang, yang mereka lihat hanya hamparan padang pasir yang luas. Tidak mereka temukan sedikitpun, tanda-tanda perkampungan yang mereka tuju. Satu, dua, sudah mulai tidak sabaran lagi, mereka selalu bertanya, “masih jauhkah lagi? Berapa lamakah lagi kita akan melintasi gurun yang tandus ini?” Pertanyan-pertanyaan itu terus menggemah melelehkan hati. Belum lagi suara rintih kehausan. “ Haus... Haus... Haus... Wahai saudaraku, aku haus, adakah sumur di sekitar sini? Aku haus. Aku dahaga.. Aku sudah kuat lagi untuk melangkahkan kakiku.” semuanya menyayat hati.
Pemimpin kabilah mereka yang ditunjuk oleh lelaki sempurna itu, dengan sabar menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang memilukan itu. Dia memerintahkan mereka untuk istirahat. “Istirahatlah kalian di bawah batu yang teduh itu, saya akan mencoba mencari sesuatu yang bisa untuk mengganjal perut kita”. Dia berkata dengan bijak. Padahal dia sendiri berada dipuncak kedahagaan yang teramat sangat. Tapi tidak mungkin dia juga harus mengeluh, demi cintanya kepada laki-laki sempurna yang telah diikrarkannya sebelum dia berangkat mengarungi lautan pasir ini. Maka ditahannya dahaga itu sekuat yang ia mampu, di seretnya kakinya pelan-pelan berjalan tanpa arah. Di kejauhan dia melihat air yang menggenang, dia berlari sekuat tenaganya untuk mencapai air itu. Berkali-kali tubuhnya limbung dan berguling-guling di hamparan pasir yang panas, namun dia berdiri kembali, dia harus sampai pada air yang tergenang itu. Tapi begitu dia sampai disana, yang didapatinya bukan air, yang di dapatinya bukan genangan air, tapi hamparan padang pasir yang luas. Ternyata itu hanya fatamorgana belaka. Dia melihat sekeliling, yang kelihatan adalah padang pasir yang berbukit-bukit. Dia tersungkur, dia menangis menyeruh Tuhannya. “Ya Tuhanku, apa yang harus aku lakukan, mereka kehausan, dan akupun juga kehausan. Ya Allah, masih jauhkah tempat yang Engkau janjikan itu, kaki ini sudah tidak sanggup lagi untuk melangkah Allah. Kuatkan kami, agar sampai di tempat yang Engkau janjikan itu”.
Berjam-jam dia berjalan mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya dan rombongan yang ada dibawah tanggung jawabnya, tapi dia tidak menemukan apa-apa. Dia kembali kerombongan dengan tangan hampa.
****
Sementara jauh disebuah perkampungan yang asri, penduduknya mulai khawatir menunggu kedatangan mereka. Seharusnya mereka rombongan pertama itu sudah sampai semenjak siang tadi tapi sampai detik ini, dan matahari hampir memasuki peraduannya belum juga kelihan tanda-tanda mereka akan sampai. Padahal mereka sudah menunggu kedatangannya di batas kota ini semenjak kemaren sore. Apa yang terjadi? Kenapa rombongan itu belum juga sampai? Kecemasan menghantui mereka.
Lihatlah, garis kecemasan itu terlihat jelas di wajah mereka. Mareka takut terjadi sesuatu yang buruk dengan rombongan saudara-saudara mereka yang teraniaya itu. Apakah perjalanan mereka diketahi oleh orang-orang Quraisy laknatullah itu? Jika hal itu benar, habislah mereka. Air matanya bercucuran memikirkan kemungkinan itu. Tidak, pasti mereka baik-baik saja. Dengan keberanian membaja, di naikinya kendaraannya, disongsongnya keberadaan saudaranya di tengah padang pasir yang tandus. Dan alangkah bahagianya hatinya, tatkala dilihatnya saudaranya berjalan patah-patah menujunya. Seketika itu juga dia turun dari ontanya, dan mempersilahkan mereka untuk naik ke atas kendarannya, biarlah dia yang berjalan dan menuntun onta itu sampai memasuki kota.
Kehidupan baru yang menentramkan telah menghampiri rombongan pertama yang jumlahnya tidak seberapa itu. Mereka telah menjalani kembali kehidupan mereka dengan normal. Namun mereka tetap tidak tenang, karena manusia yang paling di cintainya belum juga sampai. Mereka mengkhawatirkan lelaki luar biasa itu. Bagaimanalah kabarnya hari ini? Adakah dia baik-baik saja? Mereka semua risau memikirkan lelaki luar biasa itu.
Lelaki yang telah mengajarkan arti kehidupan yanmg sesungguhnya, lelaki yang selalu menangis ketika mengingat Allah. Walaupun mereka selama ini hidup disiksa, tapi entah kenapa sedetikpun mereka tidak keberatan asalkan masih bersama dengan manusia mulia itu. Sejengkalpun mereka tidak ingin jauh dari pribadi yang mengagumkan itu. Mereka rela mengorbankan apa saja untuknya. Karena cinta yang tumbuh di dalam hati mereka adalah cinta yang telah mendarah daging. Cinta yang bersumber dari sang pemilik cinta. Cinta yang takkan tergantikan sampai kapanpun. Cinta yang selalu ada, walau jasad ini telah tiada. Sungguh, mereka akan melakukan apapun jika orang-orang laknatullah itu berani berbuat macam-macam kepada orang yang mereka cinta itu.
****
Tak lama setelah mereka sampai, saudara-saudara mereka yang lainpun menyusul, perasaannya membuncah, berharap pertemuan yang mengharukan dengan manusia pilihan yang mereka rindukan. Hati mereka telah rindu melihat tatapan hangatnya. Rindu mendengarkan kata-kata bijaknya yang memiliki kekuatan ruhiyah yang tinggi. Tapi begitu mereka menyibak rombongan yang kedua itu, mereka tidak menemukan orang yang mereka rindukan ditengah-tengah rombongan. “Dia belum datang wahai saudaraku. Dia belum bisa keluar dari sana. Orang-orang laknatullah itu masih mengepungnya di rumahnya. Bahkan dia tidak bisa keluar sedikitpun. Setiap pintu di rumah itu mereka jaga. Ketika kami akan berangkat kesini, dengan susah payah dia berusaha keluar dari rumah itu. Sampai tengah malam kami menunggu beliau di tempat persembunyian, mendekati waktu subuh baru beliau bisa keluar dari rumah itu. Tak banyak yang beliau sampaikan kepada kami, dengan bercucuran air mata beliau berkata kepada kami. “Bersabarlah... Bersabarlah wahai kaumku, kehidupan yang lebih baik tengah menunggu kita. Jika kalian telah sampai disana, sampaikan salamku kepada pemuka anshor. Sampaikan terima kasihku kepadanya, karena mereka telah mau menampung kita disana”. Wahai saudaraku, sejatinya kami tidak sanggup meninggalkan beliau. Kami ingin membersamai beliau sampai kapanpun”.
Rombongan kedua itupun bercerita dengan bercucuran air mata. Mereka saling berpelukan dan berdo’a, semoga mereka diberikan kesabaran dan cepat berkumpul dengan manusia yang teramat mereka cintai itu.
****
Sementara disudut kota sana, seorang manusia suci pengemban amanah dan risalah, yang berbudi pekerti halus itu, bersiap meninggalkan kota kelahirannya. Setelah bertahun-tahun dia dianggap seorang pembohong, seorang penipu, bahkan dia dikatakan orang gila yang memiliki ilmu sihir, dan pembual, namun dia hanya menanggapinya dengan sabar. Bahkan pernah suatu ketika, ketika beliau sedang tawaf mengelilingi ka’bah, datang Abu Jahal yang tak lain adalah paman beliau sendiri, datang mengejek beliau,bahkan tidak hanya sekedar mengejek, Abu Jahal berani menarik jubah beliau, karena masih tidak tidak ada reaksi, maka Abu Jahal melanjutkan aksinya dengan menarik jenggot beliau, sampai beliau terhuyung, tapi sedikitpun beliau tidak membalas. Ketika Abu Jahal akan berbuat yang lebih dari itu, maka datanglah sahabatnya Abu Bakar dan melerainya. Sampai Abu Bakar menangis menyaksikannya.
Hari ini, perintah dari Rabbnya datang lagi, dengan tubuh bergetar dia menyampaikan kepada sahabatnya, “Robbku telah mengizinkanku untuk keluar meninggalkan kota ini, malam ini. Aku sudah diizinkan pergi”. “Apakah aku harus menyertaimu”? “Ya”
Setelah itu mereka merancang bagaimana caranya meninggalkan rumah itu, sedangkan rumah itu dijaga ketat oleh para tentara laknatullah ‘alaihi. Sampai tengah malam dia berfikir, bagaimana caranya bisa keluar dari sana dan orang-orang tidak curiga. Allah menyelamatkannya dari penglihatan para tentara laknatullah itu. Dia keluar dari pintu depan, sedangkan orang-orang itu tidak melihatnya. Dia dan sahabatnya terus berlari di tengah kegelapan malam, menembus dinginnya malam. Dia terus berlari, seperti seorang buronan yang dikejar oleh kawanan polisi. Keringatnya bercucuran, nafasnya mulai sesak, dia harus berlari secepatnya, agar tidak diketahui musuh. Sementara dengan setia, sahabatnya menyertainya. “Engkaulah yang duluan, biar aku yang di belakang, aku akan menjagamu. Demi ayah dan ibuku yang menjadi jaminannya. Aku akan menjagamu wahai Rasulullah. Aku akan menjagamu, sampai kapanpun, nyawahku taruhannya ya Rasul”.
Tapi dia adalah manusia yang berbudi. Dia adalah manusia yang berperilaku halus dan herhati lembut. Demi dia mendengar apa yang dikatakan oleh saudaranya itu yang tak lain adalah Abu Bakar, dia menghentikan langkahnya. Dan berpaling kebelakang, dengan air mata yang bercucuran, dia berkata kepada Abu Bakar, dengan lembut dia meletakkan tangannya dipundak Abu Bakar, “ Wahai Abu Bakar, Tuhanku tidak akan meninggalkanku. Sedetikpun Dia tidak akan meninggalkanku. Bukankah sudah aku katakan, bahwa ini adalah perintah dari Rabbku, yang jiwa dan nyawaku ada didalam gengggamanNya? Kita akan keluar dari kota ini dengan selamat Insya Allah”.
Mendengarkan semua itu, semakin deraslah bercucuran air mara Abu Bakar, dengan lembut diraihnya tangan Rasulullah., dan di ciunnya tangan itu dengan penuh hormat. “Aku akan menyertaimu, kemanapun engkau pergi ya Rasulullah”.
Mereka terus berlari menembus kegelapan malam yang semakin pekat, sekali dua kali kakinya terantuk benda-benda keras, bahkan berkali-kali tubuh suci itu harus bergelinding di tanah, karena keseimbangan tubuhnya terganggu, dan berkali-kali pulalah abu bakar merangkul tubuh itu untuk membantunya berdiri lagi.
Akhirnya mereka sampai di tempat persembunyian itu. Mereka tidak mungkin melanjutkan perjalan malam itu. Mereka yakin, saat ini para tentara laknatullah alaihi itu pasti sudah menyadari kepergiannya. Maka dengan nafas tersengal-sengal dia berkata kepada Abu Bakar. “Kita akan bersembunyi di Gua Tsur”.
Tubuh yang lelah itu, tertidur sudah di pangkuan seorang sahabat yang teramat mencintainya. Dengan nafas teratur, beliau tertidur di pangkuanAbu Bakar, sementara Abu Bakat, sedetikpun dia tidak tidur. Dengan setia dia menjaga Rasulullah yang tengah tertidur di pangkuannya. Aduhai, lihatlah... Lihatlah wajah Rasulullah yang damai itu, telah memberikan kedamaiyan kedalam hati abu Bakar. Kulit tubuh yang suci itu, bersentuhan dengan kulitnya yang kotor. Kulit yang muliah itu, telah bersentuhan dengan kulitnya yang hina.
Abu Bakar membiarkan tubuh yang muliah itu tertidur dengan damai dipelukannya. Namun tiba-tiba, Abu Bakar mengernyit menahan rasa sakit di kakinya. Lubang yang ada di kakinya tidak kebagian kain penutup lagi. Padahal sorban Abu Bakar telah dirobeknya untuk menutupi lubang-lubang di dinding gua itu, tapi ternyata tidak cukup. Karena dia khawatir kalau-kalau ada binatang berbisa disana, dan nanti menggigit Rasulullah yang teramat dicintainya itu, maka ditutupnya lubang itu dengan kakinya, tapi baru saja dia menempelkan telapak kakinya disana, tiba-tiba dia merasakan sesuatu telah menyengatnya. Menggigil badan Abu Bakar menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia tidak mau menggnggu tidur Rasulullah, dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menahan rasa sakit yang teramat itu, tanpa disadarinya ternyata air mata Abu Bakar keluar karena menahan rasa sakit, dan air mata itu jatuh tepat di pipi Baginda Rasul. Rasulpun terbangun dari tidurnya, dan mendongakkan kepalanya ke atas, demi dia melihat wajah sahabat yang dicintainya yang merah padam karena menahan rasa sakit, Rasul memegang bahu Abu Bakar dengan lembut dan bertanya, “Ada apa wahai abu Bakar? Kenapa engkau menangis?”
“Wahai Rasulullah, demi Ayah dan Ibuku yang menjadi jaminanmu, kakiku digigit binatang”.
Dengan sigap Rasulullah meraih kaki Abu Bakar, dan tanpa berfikir panjang, Rasul yang muliah itu langsung menempelkan mulutnya kebekas gigitan binatang berbisa itu, dan menghirup bisanya keluar, sehingga hilang rasa sakit yang dirasai oleh Abu Bakar.
Setelah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam gua itu, ketika mereka telah merasa aman dari kejaran kaum kafir Quraisy karena berkemungkinan orang-orang kafir Quraisy itu telah menjauh mencari mereka, barulah Rasulullah dan Abu Bakar keluar dari Gua dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah dengan jalur yang berbeda dari jalur bisa yang di tempuh oleh orang-orang untuk menuju Madinah. Tujuannya adalah agar tidak bertemu dengan tentara Quraisy yang mengejar mereka.
Mereka terus melakukan perjalan ditengah teriknya matahari. Agin padang pasir yang berhembus, menerbangkan pasir-pasir itu ke wajah mereka. Sekali dua kali jubah beliau berkibar di tiup angin, dan rambut beliau yang bergelombang itupun beterbangan ditiup angin sahara. Beliau terlihat semakin gagah di atas onta yang beliau tunggangi sendiri. Bahunya yang bidang, wajahnya yang bercayaha seperti bulan purnama, dan sorot matanya yang tajam, namun melembutkan hati, menatap lurus ke depan. Beliau adalah ksatria gagah berani yang telah meluluhkan hati-hati keras para pemuka Quraisy, sehingga banyak dari pemuka Quraisy itu yang akhirnya memeluk islam, namun banyak juga di antara mereka yang menjadi penghalang dakwah beliau di Mekkah Al Muqaromah itu. Wajah penuh kesabaran itu begitu lembut dan mendatangkan kedamaiyan bagi siapapun yang melihatnya.
****
Kesempurnaan akhlaknya, kehalusan budinya, dan kesantunan sikapnya telah membuat semua orang berikrar untuk akan mengorbankan apapun demi kehormatannya yang mulia. Bahkan setelah berabad-abad jarak yang memisahkan antara beliau dan ummatnya saat ini, cinta itu tetap ada di dada para ummatnya, untuk terus mengikuti jejaknya yang mulia.
Cinta yang tak terbantahkan yang beliau persembahkan untuk mereka, telah membuat mereka menjadi manusia-manusia perkasa yang siap menghunus pedang dan menjunjung tinggi nillai kebenaran demi tegaknya kalimat Laa Ilaa Ha Illah di permukan bumi ini.
Semburat merah saga itu terus memancar di langit kota Madinah, yang menjadi saksi atas perjuangan manusia luar biasa bersama orang-orang yang rela menukar nyawanya demi kemulian islam yang mulia, janji kehidupan yang lebih baikpun semakin nyata di pelupuk mata para tentara Allah itu. Lihatlah... Satu persatu musuh-musuh Allah itu telah mereka pukul mundur, bahkan sudah tidak berani lagi untuk menyeberangi perbatasan kota mereka. Itu semua karena cinta yang mendarah daging kepada Allah dan Rasulnya yang mulia. Yang telah mengajarkan arti keikhlasan dan ketulusan dalam membelah syari’atnya. Islam akan selalu berjaya sampai kapanpu, sampai akhir zamanpun islam akan berjaya ditangan mereka, yang memiliki cinta seluas samudera sebening tetesan-tetesan embun di musim kemarau.
Batusangkar, 16 Februari 2011

Laman

Total Tayangan Halaman


Pencarian itu dimulai dari rindo orang tua... Jika menginginkan jalan Tuhan, maka carilah ridho orang tua...

Entri Populer

About Me

Foto saya
Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia
Saya hanyalah seorang insan yang tengah mencari jati diri... dalam rangka memperbaiki kehambaan diri kepada sang Khalik...

Cari Blog Ini