Rabu, 23 Februari 2011

Cinta Tanpa Syarat

CINTA TANPA SYARAT
Oleh Siska Oktavia

            “Adik-kecil,” begitu aku memanggilnya. Sesungguhnya ia tak suka dipanggil begitu. Menurutnya, aku terlalu imut untuk dipanggil kakak. Kami selalu berkomunikasi via telephone, karena memang jarak Padang-Batu Sangkar yang cukup jauh. Ia mengenalku dari seorang teman sekaligus kakak tercinta, Rila (semoga Allah kukuhkan persaudaraan kami). Wallahu’alam apa yang kak Rila ceritakan tentangku pada adik-kecil sehingga aku dianggap wanita luar biasa olehnya.
            Di awal perkenalan kami, Adik-kecil bercerita panjang lebar tentang sebuah scrip novel yang baru saja ia selesaikan. Wow, ternyata kami memiliki hobi yang sama, sama-sama mencintai da’wah bil qalam, dunia-sunyi –setidaknya menurutku begitu. Namun, tentu saja ia lebih hebat dariku. Ia telah menyelesaikan satu karya besar, bahkan sempat dikirimkan ke penerbit. Diterima atau tidak oleh penerbit bersangkutan, tentu itu masalah lain. Seiring waktu berjalan, kami semakin dekat. Terkadang, kami berdiskusi tentang kepenulisan. Kadangkala, ia berkisah tentang seorang wanita agung yang belakangan kupanggil Uni, Uni Reni, tepatnya. Di lain kesempatan aku juga bercerita tentang seabrek kesibukan yang kujalani.
            Ia lebih sering menghubungiku. Barangkali karena ia memposisikan dirinya  sebagai adik. Meski tak jarang ia kecewa karena sulit sekali mencari waktu yang pas buat kami untuk saling bercerita. Tentu saja masih lewat media komunikasi jarak jauh itu. Untungnya, keadaan ini tak pernah menghalangi kami untuk saling berbagi kasih-sayang.
            Suatu ketika, aku bertemu dengan seorang adik –aku lupa namanya. Ternyata ia juga tengah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Islam Negeri yang sama dengan adik-kecil. Bahkan ia mengenal adik-kecil dengan baik. Mengalirlah ceritanya tentang adik-kecilku. Ah, betapa ia begitu familiar dan dikenal sebagai perempuan yang baik. Betapa saat itu aku berfikir, menjadi temanmu adalah indah, adik-kecil.
            Di sela-sela komunikasi kami, adik kecil selalu bilang, “Ukhwah itu seperti menghafal ayat, Kak. Harus selalu diulang. Kalau tidak ia akan lupa. Makanya, aku selalu menghubungi kakak, agar persahabatan kita tidak hilang begitu saja.”
Darinya aku banyak belajar bagaimana menjadi seorang teman yang baik. Belakangan kutahu ia ingin sekali menjadi trainer. Ah, pantaslah selama ini ia begitu pandai menyemangatiku. Ia begitu kaya dengan kata-kata motivasi. Subhanallah, diam-diam aku sangat mengaguminya. Pernah kubilang, “Kita tak usah jadi adik-kakak, tapi jadi teman saja.” Aku mulai membutuhkannya sebagai seorang teman, bukan seorang adik. Aku ingin bercerita padanya layaknya seorang teman berbagi pada teman dekatnya. Sungguh, ketika ia memanggilku kakak, ada sebuah sekat yang menghalangi kami. Aku dituntut untuk memposisikan diri sebagai tempat bermanja. Aku takut tak bisa menjadi kakak yang baik untuknya. Aku mulai gamang.
            Sampai waktu yang tak kuduga, adik-kecil merencanakan sebuah pertemuan untuk kami. Ya Allah, aku betul-betul tidak siap. Akankah ia bisa menerimaku apa adanya. Barangkali aku bukanlah wanita luar biasa yang selalu ia ucapkan. Meski ia selalu bilang, “Cinta tanpa syarat, Kak.” Ia meyakinkan.
***
            “Kak, maaf mengganggu sebentar,” Rina, seorang akhwat sesama panitia, menyentuh tanganku lembut. Kami sedang sibuk mempersiapkan sebuah acara launching buku yang akan segera dimulai, di suatu pagi.
            “Siapa, Na?”
            “Ikut aja, Kak!” Rina tersenyum, menarik tanganku pelan. Setiba di depan pintu, ia menoleh ke kiri.
            Dahiku berkerut. Siapa? Perempuan anggun itu, empat meter di depanku, berjalan  mendekat dengan senyum mengambang di wajahnya yang memerah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Sungguh.
            “Kakak…,” pelukan erat mendekapku. Ya Allah, baru kali itu aku merasakan pelukan sehangat itu. Lama. “Liza, Kak, Adik-kecil-mu,” katanya menjawab kebingunganku. Perlahan, ia melepaskan tubuhku. Lantas, tergesa-gera merogoh sesuatu dari tas ransel hitamnya. Wow, sebuah bingkisan kecil berbungkus kertas warna biru, warna kesukaanku. “Selamat ulang tahun, Kak. Kak suka warna biru, kan?”
            Aku masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa ia tahu tanggal lahir dan warna kesukaanku. Sekali lagi, adik-kecil memeluk tubuh mungilku hangat, dengan mudah. Tentu saja, tubuhnya lebih tinggi dan lebar dariku. “Masih mau memanggil ‘kakak?” tanyaku menyadari hal itu. “Siapa diantara kita yang lebih besar?”
            “Meski kita terpaut enam bulan, kakak tetap-lah kakak Liza. Tak akan berubah meski kakak lebih imut. Liza menerima segalanya apa adanya. Cinta tanpa syarat, kak..” Kami kembali tersenyum. Ah, selamat bersua, Liza Marta Lova, adik-kecilku, engkau mengajariku tentang sebuah persahabatan yang sesungguhnya.          
Padang, 20 Februari 2011

Laman

Total Tayangan Halaman


Pencarian itu dimulai dari rindo orang tua... Jika menginginkan jalan Tuhan, maka carilah ridho orang tua...

Entri Populer

About Me

Foto saya
Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia
Saya hanyalah seorang insan yang tengah mencari jati diri... dalam rangka memperbaiki kehambaan diri kepada sang Khalik...

Cari Blog Ini