Minggu, 04 Desember 2011

Cinta Tak Tergantikan

Kaki-kaki telanjang itu, terus menelusuri padang pasir yang tandus itu. Mereka sama sekali tidak peduli dengan panasnya udara padang pasir yang memanggang kulit mereka. Bahkan satu, dua di antara mereka sudah mulai kelelahan. Korban-korban berjatuhan, karena sudah tidak sanggup lagi menahan panasnya gurun sahara yang luas, yang suhunya hampir mendekati 47 derajat celcius. Perjalanan itu masih panjang, dan masih melelahkan. Dan mereka sudah tidak sanggup lagi, andaikan perintah itu bukan datang dari manusia yang paling dikaguminya dan paling disayangnya, niscaya mereka tidak akan mau melakukan perjalanan gila ini. Apalagi di puncak musim panas seperti ini. Karena semuanya sangat beresiko. Mereka bisa mati kepanasan dan kekeringan. Tapi mereka sudah tidak punya pilihan lagi. Itu adalah perintah di atas perintah. Walaupun mereka harus mati di tengah jalan, walaupun mereka harus melawan panasnya terik matahari di tengah padang pasir yang tandus, mereka harus melakukannya. Demi satu tujuan, menyelamatkan selembar iman yang telah dititipkan ke dalam hati mereka.
Sungguh, betapa tidak kuasanya hati mereka meninggalkan laki-laki kharismatik itu. Mereka semua telah bertekad di dalam hati akan selalu membersamainya, apapun yang terjadi. Mereka tidak peduli dengan penyiksaan yang mereka alami, asalkan mereka tetap bersama laki-laki sederhana itu. Bercucuran air mata ketika mereka akan meninggalkan lelaki perkasa itu. Tapi semuanya telah di atur sedemikian rupa. Dan lelaki perkasa yang luar biasa itu berjanji kepada mereka, akan menyusul mereka secepatnya. Pelukan-pelukan harupun terjadi, ketakutan untuk tidak berjumpa lagi memenuhi ruang hati. Tapi lihatlah, lihatlah tatapan matanya yang teduh itu, telah mendamaikan hati orang-orang yang melihatnya. Telah menghidupkan keberanian yang membaja di hati mereka. Mereka yakin, ini adalah jalan yang terbaik.
Berhari-hari sudah mereka menempuh gurun sahara yang tandus itu. Korban semakin banyak berjatuhan, bekal perjalanan yang tidak seberapa itupun semakin hari semakin menipis, sementara tempat tujuan mereka masih jauh. Sepanjang mata memandang, yang mereka lihat hanya hamparan padang pasir yang luas. Tidak mereka temukan sedikitpun, tanda-tanda perkampungan yang mereka tuju. Satu, dua, sudah mulai tidak sabaran lagi, mereka selalu bertanya, “masih jauhkah lagi? Berapa lamakah lagi kita akan melintasi gurun yang tandus ini?” Pertanyan-pertanyaan itu terus menggemah melelehkan hati. Belum lagi suara rintih kehausan. “ Haus... Haus... Haus... Wahai saudaraku, aku haus, adakah sumur di sekitar sini? Aku haus. Aku dahaga.. Aku sudah kuat lagi untuk melangkahkan kakiku.” semuanya menyayat hati.
Pemimpin kabilah mereka yang ditunjuk oleh lelaki sempurna itu, dengan sabar menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang memilukan itu. Dia memerintahkan mereka untuk istirahat. “Istirahatlah kalian di bawah batu yang teduh itu, saya akan mencoba mencari sesuatu yang bisa untuk mengganjal perut kita”. Dia berkata dengan bijak. Padahal dia sendiri berada dipuncak kedahagaan yang teramat sangat. Tapi tidak mungkin dia juga harus mengeluh, demi cintanya kepada laki-laki sempurna yang telah diikrarkannya sebelum dia berangkat mengarungi lautan pasir ini. Maka ditahannya dahaga itu sekuat yang ia mampu, di seretnya kakinya pelan-pelan berjalan tanpa arah. Di kejauhan dia melihat air yang menggenang, dia berlari sekuat tenaganya untuk mencapai air itu. Berkali-kali tubuhnya limbung dan berguling-guling di hamparan pasir yang panas, namun dia berdiri kembali, dia harus sampai pada air yang tergenang itu. Tapi begitu dia sampai disana, yang didapatinya bukan air, yang di dapatinya bukan genangan air, tapi hamparan padang pasir yang luas. Ternyata itu hanya fatamorgana belaka. Dia melihat sekeliling, yang kelihatan adalah padang pasir yang berbukit-bukit. Dia tersungkur, dia menangis menyeruh Tuhannya. “Ya Tuhanku, apa yang harus aku lakukan, mereka kehausan, dan akupun juga kehausan. Ya Allah, masih jauhkah tempat yang Engkau janjikan itu, kaki ini sudah tidak sanggup lagi untuk melangkah Allah. Kuatkan kami, agar sampai di tempat yang Engkau janjikan itu”.
Berjam-jam dia berjalan mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya dan rombongan yang ada dibawah tanggung jawabnya, tapi dia tidak menemukan apa-apa. Dia kembali kerombongan dengan tangan hampa.
****
Sementara jauh disebuah perkampungan yang asri, penduduknya mulai khawatir menunggu kedatangan mereka. Seharusnya mereka rombongan pertama itu sudah sampai semenjak siang tadi tapi sampai detik ini, dan matahari hampir memasuki peraduannya belum juga kelihan tanda-tanda mereka akan sampai. Padahal mereka sudah menunggu kedatangannya di batas kota ini semenjak kemaren sore. Apa yang terjadi? Kenapa rombongan itu belum juga sampai? Kecemasan menghantui mereka.
Lihatlah, garis kecemasan itu terlihat jelas di wajah mereka. Mareka takut terjadi sesuatu yang buruk dengan rombongan saudara-saudara mereka yang teraniaya itu. Apakah perjalanan mereka diketahi oleh orang-orang Quraisy laknatullah itu? Jika hal itu benar, habislah mereka. Air matanya bercucuran memikirkan kemungkinan itu. Tidak, pasti mereka baik-baik saja. Dengan keberanian membaja, di naikinya kendaraannya, disongsongnya keberadaan saudaranya di tengah padang pasir yang tandus. Dan alangkah bahagianya hatinya, tatkala dilihatnya saudaranya berjalan patah-patah menujunya. Seketika itu juga dia turun dari ontanya, dan mempersilahkan mereka untuk naik ke atas kendarannya, biarlah dia yang berjalan dan menuntun onta itu sampai memasuki kota.
Kehidupan baru yang menentramkan telah menghampiri rombongan pertama yang jumlahnya tidak seberapa itu. Mereka telah menjalani kembali kehidupan mereka dengan normal. Namun mereka tetap tidak tenang, karena manusia yang paling di cintainya belum juga sampai. Mereka mengkhawatirkan lelaki luar biasa itu. Bagaimanalah kabarnya hari ini? Adakah dia baik-baik saja? Mereka semua risau memikirkan lelaki luar biasa itu.
Lelaki yang telah mengajarkan arti kehidupan yanmg sesungguhnya, lelaki yang selalu menangis ketika mengingat Allah. Walaupun mereka selama ini hidup disiksa, tapi entah kenapa sedetikpun mereka tidak keberatan asalkan masih bersama dengan manusia mulia itu. Sejengkalpun mereka tidak ingin jauh dari pribadi yang mengagumkan itu. Mereka rela mengorbankan apa saja untuknya. Karena cinta yang tumbuh di dalam hati mereka adalah cinta yang telah mendarah daging. Cinta yang bersumber dari sang pemilik cinta. Cinta yang takkan tergantikan sampai kapanpun. Cinta yang selalu ada, walau jasad ini telah tiada. Sungguh, mereka akan melakukan apapun jika orang-orang laknatullah itu berani berbuat macam-macam kepada orang yang mereka cinta itu.
****
Tak lama setelah mereka sampai, saudara-saudara mereka yang lainpun menyusul, perasaannya membuncah, berharap pertemuan yang mengharukan dengan manusia pilihan yang mereka rindukan. Hati mereka telah rindu melihat tatapan hangatnya. Rindu mendengarkan kata-kata bijaknya yang memiliki kekuatan ruhiyah yang tinggi. Tapi begitu mereka menyibak rombongan yang kedua itu, mereka tidak menemukan orang yang mereka rindukan ditengah-tengah rombongan. “Dia belum datang wahai saudaraku. Dia belum bisa keluar dari sana. Orang-orang laknatullah itu masih mengepungnya di rumahnya. Bahkan dia tidak bisa keluar sedikitpun. Setiap pintu di rumah itu mereka jaga. Ketika kami akan berangkat kesini, dengan susah payah dia berusaha keluar dari rumah itu. Sampai tengah malam kami menunggu beliau di tempat persembunyian, mendekati waktu subuh baru beliau bisa keluar dari rumah itu. Tak banyak yang beliau sampaikan kepada kami, dengan bercucuran air mata beliau berkata kepada kami. “Bersabarlah... Bersabarlah wahai kaumku, kehidupan yang lebih baik tengah menunggu kita. Jika kalian telah sampai disana, sampaikan salamku kepada pemuka anshor. Sampaikan terima kasihku kepadanya, karena mereka telah mau menampung kita disana”. Wahai saudaraku, sejatinya kami tidak sanggup meninggalkan beliau. Kami ingin membersamai beliau sampai kapanpun”.
Rombongan kedua itupun bercerita dengan bercucuran air mata. Mereka saling berpelukan dan berdo’a, semoga mereka diberikan kesabaran dan cepat berkumpul dengan manusia yang teramat mereka cintai itu.
****
Sementara disudut kota sana, seorang manusia suci pengemban amanah dan risalah, yang berbudi pekerti halus itu, bersiap meninggalkan kota kelahirannya. Setelah bertahun-tahun dia dianggap seorang pembohong, seorang penipu, bahkan dia dikatakan orang gila yang memiliki ilmu sihir, dan pembual, namun dia hanya menanggapinya dengan sabar. Bahkan pernah suatu ketika, ketika beliau sedang tawaf mengelilingi ka’bah, datang Abu Jahal yang tak lain adalah paman beliau sendiri, datang mengejek beliau,bahkan tidak hanya sekedar mengejek, Abu Jahal berani menarik jubah beliau, karena masih tidak tidak ada reaksi, maka Abu Jahal melanjutkan aksinya dengan menarik jenggot beliau, sampai beliau terhuyung, tapi sedikitpun beliau tidak membalas. Ketika Abu Jahal akan berbuat yang lebih dari itu, maka datanglah sahabatnya Abu Bakar dan melerainya. Sampai Abu Bakar menangis menyaksikannya.
Hari ini, perintah dari Rabbnya datang lagi, dengan tubuh bergetar dia menyampaikan kepada sahabatnya, “Robbku telah mengizinkanku untuk keluar meninggalkan kota ini, malam ini. Aku sudah diizinkan pergi”. “Apakah aku harus menyertaimu”? “Ya”
Setelah itu mereka merancang bagaimana caranya meninggalkan rumah itu, sedangkan rumah itu dijaga ketat oleh para tentara laknatullah ‘alaihi. Sampai tengah malam dia berfikir, bagaimana caranya bisa keluar dari sana dan orang-orang tidak curiga. Allah menyelamatkannya dari penglihatan para tentara laknatullah itu. Dia keluar dari pintu depan, sedangkan orang-orang itu tidak melihatnya. Dia dan sahabatnya terus berlari di tengah kegelapan malam, menembus dinginnya malam. Dia terus berlari, seperti seorang buronan yang dikejar oleh kawanan polisi. Keringatnya bercucuran, nafasnya mulai sesak, dia harus berlari secepatnya, agar tidak diketahui musuh. Sementara dengan setia, sahabatnya menyertainya. “Engkaulah yang duluan, biar aku yang di belakang, aku akan menjagamu. Demi ayah dan ibuku yang menjadi jaminannya. Aku akan menjagamu wahai Rasulullah. Aku akan menjagamu, sampai kapanpun, nyawahku taruhannya ya Rasul”.
Tapi dia adalah manusia yang berbudi. Dia adalah manusia yang berperilaku halus dan herhati lembut. Demi dia mendengar apa yang dikatakan oleh saudaranya itu yang tak lain adalah Abu Bakar, dia menghentikan langkahnya. Dan berpaling kebelakang, dengan air mata yang bercucuran, dia berkata kepada Abu Bakar, dengan lembut dia meletakkan tangannya dipundak Abu Bakar, “ Wahai Abu Bakar, Tuhanku tidak akan meninggalkanku. Sedetikpun Dia tidak akan meninggalkanku. Bukankah sudah aku katakan, bahwa ini adalah perintah dari Rabbku, yang jiwa dan nyawaku ada didalam gengggamanNya? Kita akan keluar dari kota ini dengan selamat Insya Allah”.
Mendengarkan semua itu, semakin deraslah bercucuran air mara Abu Bakar, dengan lembut diraihnya tangan Rasulullah., dan di ciunnya tangan itu dengan penuh hormat. “Aku akan menyertaimu, kemanapun engkau pergi ya Rasulullah”.
Mereka terus berlari menembus kegelapan malam yang semakin pekat, sekali dua kali kakinya terantuk benda-benda keras, bahkan berkali-kali tubuh suci itu harus bergelinding di tanah, karena keseimbangan tubuhnya terganggu, dan berkali-kali pulalah abu bakar merangkul tubuh itu untuk membantunya berdiri lagi.
Akhirnya mereka sampai di tempat persembunyian itu. Mereka tidak mungkin melanjutkan perjalan malam itu. Mereka yakin, saat ini para tentara laknatullah alaihi itu pasti sudah menyadari kepergiannya. Maka dengan nafas tersengal-sengal dia berkata kepada Abu Bakar. “Kita akan bersembunyi di Gua Tsur”.
Tubuh yang lelah itu, tertidur sudah di pangkuan seorang sahabat yang teramat mencintainya. Dengan nafas teratur, beliau tertidur di pangkuanAbu Bakar, sementara Abu Bakat, sedetikpun dia tidak tidur. Dengan setia dia menjaga Rasulullah yang tengah tertidur di pangkuannya. Aduhai, lihatlah... Lihatlah wajah Rasulullah yang damai itu, telah memberikan kedamaiyan kedalam hati abu Bakar. Kulit tubuh yang suci itu, bersentuhan dengan kulitnya yang kotor. Kulit yang muliah itu, telah bersentuhan dengan kulitnya yang hina.
Abu Bakar membiarkan tubuh yang muliah itu tertidur dengan damai dipelukannya. Namun tiba-tiba, Abu Bakar mengernyit menahan rasa sakit di kakinya. Lubang yang ada di kakinya tidak kebagian kain penutup lagi. Padahal sorban Abu Bakar telah dirobeknya untuk menutupi lubang-lubang di dinding gua itu, tapi ternyata tidak cukup. Karena dia khawatir kalau-kalau ada binatang berbisa disana, dan nanti menggigit Rasulullah yang teramat dicintainya itu, maka ditutupnya lubang itu dengan kakinya, tapi baru saja dia menempelkan telapak kakinya disana, tiba-tiba dia merasakan sesuatu telah menyengatnya. Menggigil badan Abu Bakar menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia tidak mau menggnggu tidur Rasulullah, dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk menahan rasa sakit yang teramat itu, tanpa disadarinya ternyata air mata Abu Bakar keluar karena menahan rasa sakit, dan air mata itu jatuh tepat di pipi Baginda Rasul. Rasulpun terbangun dari tidurnya, dan mendongakkan kepalanya ke atas, demi dia melihat wajah sahabat yang dicintainya yang merah padam karena menahan rasa sakit, Rasul memegang bahu Abu Bakar dengan lembut dan bertanya, “Ada apa wahai abu Bakar? Kenapa engkau menangis?”
“Wahai Rasulullah, demi Ayah dan Ibuku yang menjadi jaminanmu, kakiku digigit binatang”.
Dengan sigap Rasulullah meraih kaki Abu Bakar, dan tanpa berfikir panjang, Rasul yang muliah itu langsung menempelkan mulutnya kebekas gigitan binatang berbisa itu, dan menghirup bisanya keluar, sehingga hilang rasa sakit yang dirasai oleh Abu Bakar.
Setelah beberapa hari mereka bersembunyi di dalam gua itu, ketika mereka telah merasa aman dari kejaran kaum kafir Quraisy karena berkemungkinan orang-orang kafir Quraisy itu telah menjauh mencari mereka, barulah Rasulullah dan Abu Bakar keluar dari Gua dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah dengan jalur yang berbeda dari jalur bisa yang di tempuh oleh orang-orang untuk menuju Madinah. Tujuannya adalah agar tidak bertemu dengan tentara Quraisy yang mengejar mereka.
Mereka terus melakukan perjalan ditengah teriknya matahari. Agin padang pasir yang berhembus, menerbangkan pasir-pasir itu ke wajah mereka. Sekali dua kali jubah beliau berkibar di tiup angin, dan rambut beliau yang bergelombang itupun beterbangan ditiup angin sahara. Beliau terlihat semakin gagah di atas onta yang beliau tunggangi sendiri. Bahunya yang bidang, wajahnya yang bercayaha seperti bulan purnama, dan sorot matanya yang tajam, namun melembutkan hati, menatap lurus ke depan. Beliau adalah ksatria gagah berani yang telah meluluhkan hati-hati keras para pemuka Quraisy, sehingga banyak dari pemuka Quraisy itu yang akhirnya memeluk islam, namun banyak juga di antara mereka yang menjadi penghalang dakwah beliau di Mekkah Al Muqaromah itu. Wajah penuh kesabaran itu begitu lembut dan mendatangkan kedamaiyan bagi siapapun yang melihatnya.
****
Kesempurnaan akhlaknya, kehalusan budinya, dan kesantunan sikapnya telah membuat semua orang berikrar untuk akan mengorbankan apapun demi kehormatannya yang mulia. Bahkan setelah berabad-abad jarak yang memisahkan antara beliau dan ummatnya saat ini, cinta itu tetap ada di dada para ummatnya, untuk terus mengikuti jejaknya yang mulia.
Cinta yang tak terbantahkan yang beliau persembahkan untuk mereka, telah membuat mereka menjadi manusia-manusia perkasa yang siap menghunus pedang dan menjunjung tinggi nillai kebenaran demi tegaknya kalimat Laa Ilaa Ha Illah di permukan bumi ini.
Semburat merah saga itu terus memancar di langit kota Madinah, yang menjadi saksi atas perjuangan manusia luar biasa bersama orang-orang yang rela menukar nyawanya demi kemulian islam yang mulia, janji kehidupan yang lebih baikpun semakin nyata di pelupuk mata para tentara Allah itu. Lihatlah... Satu persatu musuh-musuh Allah itu telah mereka pukul mundur, bahkan sudah tidak berani lagi untuk menyeberangi perbatasan kota mereka. Itu semua karena cinta yang mendarah daging kepada Allah dan Rasulnya yang mulia. Yang telah mengajarkan arti keikhlasan dan ketulusan dalam membelah syari’atnya. Islam akan selalu berjaya sampai kapanpu, sampai akhir zamanpun islam akan berjaya ditangan mereka, yang memiliki cinta seluas samudera sebening tetesan-tetesan embun di musim kemarau.
Batusangkar, 16 Februari 2011

Rabu, 16 November 2011

Aku Ingin Pulang...


Kamis jam 07.00 pagi ketika aku telah menyandang handuk bersiap-siap masuk kamar mandi. Tiba-tiba Hpku bernyanyi dengan riangnya sambil mendendangkan lagu Mars Korsad. Sejenak ku perhatikan, panggilan dari sepupuku Mita yang kuliah di Padang. Dengan santai tanpa firasat apa-apa ku tempelkan Hp ketelingaku. “Sa (panggilan sayang orang kampungku kepadaku Lisa, bukan Liza) kampuang awak aie ampuah (banjir) Sa”. Kata sepupuku dengan terbatah-batah. Demi aku mendengar kata “aie ampuah”, mataku membeliak besar. Terbayang genangan air dimana-mana dan membanjiri jalan-jalan di kampung kami.
Biasanya kampung kami memang sering di landa banjir, hampir setiap tahun banjir melanda. Bahkan pernah banjir melanda kampung kami ketika sehari mau lebaran idhul fitri. Sehingga orang yang  mudikpun, pulang ke rumah mereka dengan naik sampan (perahu). Dan hal itu akan memberikan kesenagan kepada kami, karena itu tandanya kami tidak akan datang ke sekolah dan akan puas bermain air sampai air kembali kering. Biasanya tidak lama, pagi air melimpah, maka menjelang  jam 11 akan kembali kering. Tapi aku dan beberapa kawanan anak-anak dan remaja-remaja akan menyambutnya dengan suka cita. Karena itu artinya kami bisa berenang sepuas hati kami.
“Iyo Ta… Ih pasti asyik. Liza nio baranang. Caliak aie gadang. Ih rugi wak ndak mancaliaknyo do Ta. Pek la Ta pai wak, pai baranang naiak akik-akik batang pisang wak”. Timpalku dengan suara semanja mungkin sambil membayangkan naik sampan bersama Pak  Icun suami etekku. Karena sekarang tidak mungkin aku berenang lagi seperti dulu. Ingat umurku telah berkepala ‘dua’. Mendengar komentarku yang ringan sama seperti air yang mengalir, membuat sepupuku semakin panikan karena memang dia orangnya suka panikan.
“Budak ko asiang lo e. urang lah kadinginan di kampuang dek aie ampuah nan dari jam sabaleh malam tadi aie gadang. Inyo nio baranang lo kecek inyo... Indak tantu dek e gak a, urang ala cameh di kampuang. Kamano hatinyo gak a. masak galaknyo”. Kata sepupuku panjang pendek sambil menyumpah serapahiku dengan kata-kata mutiaranya yang khas. Aku hanya senyum saja mendengarkan semua itu. Karena aku tau dia adalah orangnya panikan. “Yee.. Kan ala biaso kampuang awak tu kanai aie ampuah Ta. Tiok tahun malah aie ampuah. Kini ala ampek tahun liza ndak ado mancaliak aie ampuah di kampuang wak do. Liza tadaagak ta. Liza nio baranang-ranang bantuak dulu”. Jawabku enteng.
“Eh lisuik (panggilan pelesetan namaku dari orang-orang terdekatku kalau sudah kesal) urang di kampuang tu alah kedinginan ha. Aie naiak sa anggo pinggang, di Kambang sampai ka Lakitan jalan putuih. Ha, anangilah dek kau jalan dari Kambang sampai Lakitan tu, buliah ndak pueh bana hati kau baranang”. Balas sepupuku masih dengan kata-kata mutiara. Kali ini membuat hatiku sedikit ciut. Rasa khawatir menyelimuti hatiku. Banjir kali ini berarti sangat serius. Biasanya air yang meluap hanya sampai lutut, tapi kali ini sampai pinggang. Kalau jalan dari Kambang sampai Lakitan putus, berarti itu cukup jauh, lebih kurang 2 km. YA Allah, untuk pertama kalinya aku sangat cemas memikirkan negeri sejuta pasirku. Bagaimanakah kondisinya hari ini? Terbayang wajah Amakku yang kedinginan ditengah-tengah air yang sedang meluap.Bagaimanakah kondisi Amakku? Mak, Liza mau pulang Mak. Ya Allah, bagaimanakah kondisi Amakku? Terbayang wajah adikku satu-satunya, apakah yang sedang dilakukannya saat ini? Terbayang bangunan rumah kami yang sudah reot di makan usia, apakah bangunan satu-satunya yang kami miliki itu masih berdiri disana? Atau jangan-jangan telah habis diseret air banjir? Ya Allah, tidak pernah aku dilanda rindu yang teramat sangat untuk pulang, kecuali pagi ini. Aku ingin pulang. Aku ingin lihat tanah kelahiran tumpah darahku. Ya Allah, apa ini ya Allah? Ujian dariMu kah? Atau ini teguran dariMu?
Tampa ba-bi-bu, aku matikan telfon dari sepupuku dan cepat ku tekan tombol menu di HPku ke bawah, kucari sederet nama di sana dan kutekan tombol hijau. Cemasku semakin menjadi, karena nomor yang aku tekan tidak bisa dihubungi, yang terdengar hanya suara operator yang mendayu yang memberitahukan kalau nomor yang saya tuju tidak dapat dihubungi. Ya Allah, lalu bagaimana hamba mendapatkan informasi tentang keluarga besar hamba? Kucoba mengirimkan SMS ke nomor adikku, tetap tidak bisa, selalu gagal. Aku semakin dirundung rasa cemas. Ya Rabbi, hamba mohon izinkan hamba, hamba ingin tau bagaiman kondisi amak, adik, etek, ayek udo, lutfi, diva, Hafidz dan semuanya. Ya Allah, bagaimanakah kondisi mereka? Aku ingin Pulang. Mak, Liza ingin pulang Mak.
Kembali ku coba menghubungi, kali ini yang aku hubungi nomor etekku, setelah mencoba beberapa kali, akhirnya menyambung juga. Sedikit legah di hati, karena yang pertama kali aku dengar suara si kecil Hafidz yang baru berusia 3 bulan. Aku tanyakan tentang semua yang aku khawatirkan. Alhamdulillah Amakku tidak apa-apa, semalam beliau bersama etek ngungsi di gudang kayu Bapak yang ditinggikan. “Tidak ada satupun yang perlu dicemaskan. Air sudah surut kembali yang tersisa saat ini adalah lumpur setinggi mata kaki di dalam rumah”. Terang etekku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih memberikan kesempatan kepada hamba untuk mengungkapkan rasa cinta hamba kepada mereka semua.  
Tapi hatiku masih belum tenang, aku coba menghubungi kawan-kawan yang mungkin sudah ada dikampung saat ini. Dan aku coba menelusuri informasi lewat internet, sungguh sebuah kenyataaan yang sangat menohok hati ketika aku temukan salah satu berita di antara.com, ternyata banjir yang melanda kampung halamanku merupakan banjir terbesar sepanjang 50 tahun belakangan. Ya Allah… Lagi-lagi hatiku merintih. Aku rindu kampung halamanku. Seperti apakah kondisinya saat ini? Perkampungan nyiur melambai itu sudah porak porandakah? Negeri sejuta pasirku, sudah terkikiskah? Aku ingin pulang. Aku ingin melihat kondisinya. Tapi bagaimana caranya bisa sampai kesana? Jalur satu-satunya menuju ke kampung halamanku telah lumpuh di terjanag banjir. Hanya ada satu jalan menuju kesana dan itupun telah terputus.

Jumat, 22 April 2011

Rabu, 23 Februari 2011

Cinta Tanpa Syarat

CINTA TANPA SYARAT
Oleh Siska Oktavia

            “Adik-kecil,” begitu aku memanggilnya. Sesungguhnya ia tak suka dipanggil begitu. Menurutnya, aku terlalu imut untuk dipanggil kakak. Kami selalu berkomunikasi via telephone, karena memang jarak Padang-Batu Sangkar yang cukup jauh. Ia mengenalku dari seorang teman sekaligus kakak tercinta, Rila (semoga Allah kukuhkan persaudaraan kami). Wallahu’alam apa yang kak Rila ceritakan tentangku pada adik-kecil sehingga aku dianggap wanita luar biasa olehnya.
            Di awal perkenalan kami, Adik-kecil bercerita panjang lebar tentang sebuah scrip novel yang baru saja ia selesaikan. Wow, ternyata kami memiliki hobi yang sama, sama-sama mencintai da’wah bil qalam, dunia-sunyi –setidaknya menurutku begitu. Namun, tentu saja ia lebih hebat dariku. Ia telah menyelesaikan satu karya besar, bahkan sempat dikirimkan ke penerbit. Diterima atau tidak oleh penerbit bersangkutan, tentu itu masalah lain. Seiring waktu berjalan, kami semakin dekat. Terkadang, kami berdiskusi tentang kepenulisan. Kadangkala, ia berkisah tentang seorang wanita agung yang belakangan kupanggil Uni, Uni Reni, tepatnya. Di lain kesempatan aku juga bercerita tentang seabrek kesibukan yang kujalani.
            Ia lebih sering menghubungiku. Barangkali karena ia memposisikan dirinya  sebagai adik. Meski tak jarang ia kecewa karena sulit sekali mencari waktu yang pas buat kami untuk saling bercerita. Tentu saja masih lewat media komunikasi jarak jauh itu. Untungnya, keadaan ini tak pernah menghalangi kami untuk saling berbagi kasih-sayang.
            Suatu ketika, aku bertemu dengan seorang adik –aku lupa namanya. Ternyata ia juga tengah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Islam Negeri yang sama dengan adik-kecil. Bahkan ia mengenal adik-kecil dengan baik. Mengalirlah ceritanya tentang adik-kecilku. Ah, betapa ia begitu familiar dan dikenal sebagai perempuan yang baik. Betapa saat itu aku berfikir, menjadi temanmu adalah indah, adik-kecil.
            Di sela-sela komunikasi kami, adik kecil selalu bilang, “Ukhwah itu seperti menghafal ayat, Kak. Harus selalu diulang. Kalau tidak ia akan lupa. Makanya, aku selalu menghubungi kakak, agar persahabatan kita tidak hilang begitu saja.”
Darinya aku banyak belajar bagaimana menjadi seorang teman yang baik. Belakangan kutahu ia ingin sekali menjadi trainer. Ah, pantaslah selama ini ia begitu pandai menyemangatiku. Ia begitu kaya dengan kata-kata motivasi. Subhanallah, diam-diam aku sangat mengaguminya. Pernah kubilang, “Kita tak usah jadi adik-kakak, tapi jadi teman saja.” Aku mulai membutuhkannya sebagai seorang teman, bukan seorang adik. Aku ingin bercerita padanya layaknya seorang teman berbagi pada teman dekatnya. Sungguh, ketika ia memanggilku kakak, ada sebuah sekat yang menghalangi kami. Aku dituntut untuk memposisikan diri sebagai tempat bermanja. Aku takut tak bisa menjadi kakak yang baik untuknya. Aku mulai gamang.
            Sampai waktu yang tak kuduga, adik-kecil merencanakan sebuah pertemuan untuk kami. Ya Allah, aku betul-betul tidak siap. Akankah ia bisa menerimaku apa adanya. Barangkali aku bukanlah wanita luar biasa yang selalu ia ucapkan. Meski ia selalu bilang, “Cinta tanpa syarat, Kak.” Ia meyakinkan.
***
            “Kak, maaf mengganggu sebentar,” Rina, seorang akhwat sesama panitia, menyentuh tanganku lembut. Kami sedang sibuk mempersiapkan sebuah acara launching buku yang akan segera dimulai, di suatu pagi.
            “Siapa, Na?”
            “Ikut aja, Kak!” Rina tersenyum, menarik tanganku pelan. Setiba di depan pintu, ia menoleh ke kiri.
            Dahiku berkerut. Siapa? Perempuan anggun itu, empat meter di depanku, berjalan  mendekat dengan senyum mengambang di wajahnya yang memerah. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Sungguh.
            “Kakak…,” pelukan erat mendekapku. Ya Allah, baru kali itu aku merasakan pelukan sehangat itu. Lama. “Liza, Kak, Adik-kecil-mu,” katanya menjawab kebingunganku. Perlahan, ia melepaskan tubuhku. Lantas, tergesa-gera merogoh sesuatu dari tas ransel hitamnya. Wow, sebuah bingkisan kecil berbungkus kertas warna biru, warna kesukaanku. “Selamat ulang tahun, Kak. Kak suka warna biru, kan?”
            Aku masih belum bisa percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa ia tahu tanggal lahir dan warna kesukaanku. Sekali lagi, adik-kecil memeluk tubuh mungilku hangat, dengan mudah. Tentu saja, tubuhnya lebih tinggi dan lebar dariku. “Masih mau memanggil ‘kakak?” tanyaku menyadari hal itu. “Siapa diantara kita yang lebih besar?”
            “Meski kita terpaut enam bulan, kakak tetap-lah kakak Liza. Tak akan berubah meski kakak lebih imut. Liza menerima segalanya apa adanya. Cinta tanpa syarat, kak..” Kami kembali tersenyum. Ah, selamat bersua, Liza Marta Lova, adik-kecilku, engkau mengajariku tentang sebuah persahabatan yang sesungguhnya.          
Padang, 20 Februari 2011

Jumat, 07 Januari 2011

Tetes Kerinduan....

Tetes kerinduan jatuh berderai...
Dari langit kasih yang tulus menuju pulau tak beratap...
Hanya diam tak berarti...
Mengintip butiran cinta yang semakin hilang di telan tanah...
Tanah kering juang hampa nan kosong...
intuisi pilu serpihan luka mulai berdesir saat tiada cinta...
Hilang....
Lalu tatap dia perlahan
Anggap,
Hujan kali ini kan sampaikan puisi-puisi lama tanpa tema...
(Batusangkar, 04 Januari 2011)

Kamis, 30 Desember 2010

Kumpulan Puisi LIza Martha

Makna waktu...
Perenung alam segala bakti
 Satu tujuan berjuta langkah beribu cara...
Mematikan, mengerikan bagi jiwa-jiwa yang nyaris mati...
Memilih taruhan nyawa...
Benamkan kampak-kampak duka, belatih keji..
Hanyut dalam mata yang tak berkelopak menjadi perih...
Saat perenungan itu....
Aku tidak paham tentang waktu...
Kata orang yang paling akrab dengannya buku usang
(27 November 2010)
Tuan Negeri itu..
Hamparan nan sunyi artikan satu detik waktu dari kumpulan jutaan masa...
Dahulu tak tertulis sedikitpun dari kitap siang yang aktif sembunyikan malam...
Dan malampun setia lindungi teriakan siang..
Buhul-buhul kelambu tanah
Cerita tiap langkah ukiran kaki yang bingung
 Lantaran jejak siapa?
Hamparan sunyi hakimi setiap cela tanpa suap
Sembunyi dua alam atas sayap-sayap suratan semesta..
Teringat rindu para dermawan,
Penyumbang air mata kala bersama...
Bergelimang parfum duka untuk teruskan sampai kesini..
Di atas hamparan sunyi,
Terpancang kokoh nama-nama tuan negeri
Negeri sejati bagi tiap penikmat nyawa...
(20 Desember 2010)
Tarian Keabadian
Di batu itu,
Telah kita ukir baris cerita bathin...
Yang bertema keajaiban tarian cinta
Tema yang tak terbatas oleh benteng keabadian...
Menghidupkan kembali tulisan senja,
Yang hampir hilang di telan malam...
(29 November 2010)
Keajaiban Subuh
Diam-diam subuh tawarkan satu keagungan
Bumi jiwa dalam pelukan kasih
Hidupkan asa yang tak terdeteksi itu...
Berlaut jingga di pucuk-pucuk mimpi
Tunjukkan bayang-bayang pipit kembangkan sayap..
Di bawah kedamaian langit cinta...
Hujan senyum sejukkan rasa dalam tiap-tiap sudut dimensi kehidupan...
Remang-ramang warna subuh mulai memudar...
Tampak di sana maha sempurnah penciptaanNya...
Subhanallah....
(13 Desember 2010)
Sang Desainer
Tancapkan tongkat juang sebagai pancang tali-tali itu...
Ada sedetik masa, taklukkan serpihan bambu...
Adalah keping jutaan dari penyusun tugu yang kokoh...
Kelak menjadi simbol kenangan yang kekal
Satuan sekon dapat maknai misteri-misteri adanya desainer tugu itu...
Ialah terlahir dari sejuta kenikmatan dan kepercayaan
Dengan tangan halus ia tumbuh,
Karena ia kan menjadi seniman jiwa di Negeri ini....
Teramat hebat pemutar waktu...
Puzle-puzle kemaren belum tesusun rapi...
Mata yang baru saja tertidur…
Gamang memandang keluar jendela
 Mentari itu telah tinggi...
Kupu-kupupun mulai terbang tinggalkan taman...

Teringat kembali sang desainer...
Siapkan tugu itu....
(04 Desember 2010)
Keindahan Semu
Geluti diri, karena tubuh ini mulai melemah...
Hancurkan tiap pemanis rasa gunda yang sungguh mengganas..
Bukan bisa ular yang mematikan...
Tapi racun hati yang kacaukan asa...
Dengar cerita tentang sebongkah pualam jingga yang indah lagi kokoh
Hanya dengan keyakinan kuatkan impian,
Penyusun tebing nan curam...
Dan taukah?
Ia hanya sekedar ciptakan senyum keindahan yang terjaga...
(06 Desember 2010)
Senyum Luka
Gila sadar di ujung senyumku
Menguak tanya....
Tanpa kalimat,
Sebab bukan rangkaian kata biasa...
Ku sanjung agar...
Hilangkan badai-badai senja itu...
Sembunyikan makna tiap dimensi bentuk
Maya atau nyata..
Ubah deruh mimpi seorang gadis
Warna langit di kuncup-kuncup mawar
Memudar malu
Mata faset berkeliling hirup kiriman angin syurga
Tanpa kenal keangkuhan
Seperti ulat daun pemangsa rindu
Sajak-sajak rumit pada senyumku....
Kirimkan salam perih untuk kuncup-kuncup mawar itu....
Gugah duri-duri tangkai yang telah lukai bunga-bunga taman....
(21 Desember 2010)

Laman

Total Tayangan Halaman


Pencarian itu dimulai dari rindo orang tua... Jika menginginkan jalan Tuhan, maka carilah ridho orang tua...

Entri Populer

About Me

Foto saya
Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia
Saya hanyalah seorang insan yang tengah mencari jati diri... dalam rangka memperbaiki kehambaan diri kepada sang Khalik...

Cari Blog Ini