Rabu, 16 November 2011

Aku Ingin Pulang...


Kamis jam 07.00 pagi ketika aku telah menyandang handuk bersiap-siap masuk kamar mandi. Tiba-tiba Hpku bernyanyi dengan riangnya sambil mendendangkan lagu Mars Korsad. Sejenak ku perhatikan, panggilan dari sepupuku Mita yang kuliah di Padang. Dengan santai tanpa firasat apa-apa ku tempelkan Hp ketelingaku. “Sa (panggilan sayang orang kampungku kepadaku Lisa, bukan Liza) kampuang awak aie ampuah (banjir) Sa”. Kata sepupuku dengan terbatah-batah. Demi aku mendengar kata “aie ampuah”, mataku membeliak besar. Terbayang genangan air dimana-mana dan membanjiri jalan-jalan di kampung kami.
Biasanya kampung kami memang sering di landa banjir, hampir setiap tahun banjir melanda. Bahkan pernah banjir melanda kampung kami ketika sehari mau lebaran idhul fitri. Sehingga orang yang  mudikpun, pulang ke rumah mereka dengan naik sampan (perahu). Dan hal itu akan memberikan kesenagan kepada kami, karena itu tandanya kami tidak akan datang ke sekolah dan akan puas bermain air sampai air kembali kering. Biasanya tidak lama, pagi air melimpah, maka menjelang  jam 11 akan kembali kering. Tapi aku dan beberapa kawanan anak-anak dan remaja-remaja akan menyambutnya dengan suka cita. Karena itu artinya kami bisa berenang sepuas hati kami.
“Iyo Ta… Ih pasti asyik. Liza nio baranang. Caliak aie gadang. Ih rugi wak ndak mancaliaknyo do Ta. Pek la Ta pai wak, pai baranang naiak akik-akik batang pisang wak”. Timpalku dengan suara semanja mungkin sambil membayangkan naik sampan bersama Pak  Icun suami etekku. Karena sekarang tidak mungkin aku berenang lagi seperti dulu. Ingat umurku telah berkepala ‘dua’. Mendengar komentarku yang ringan sama seperti air yang mengalir, membuat sepupuku semakin panikan karena memang dia orangnya suka panikan.
“Budak ko asiang lo e. urang lah kadinginan di kampuang dek aie ampuah nan dari jam sabaleh malam tadi aie gadang. Inyo nio baranang lo kecek inyo... Indak tantu dek e gak a, urang ala cameh di kampuang. Kamano hatinyo gak a. masak galaknyo”. Kata sepupuku panjang pendek sambil menyumpah serapahiku dengan kata-kata mutiaranya yang khas. Aku hanya senyum saja mendengarkan semua itu. Karena aku tau dia adalah orangnya panikan. “Yee.. Kan ala biaso kampuang awak tu kanai aie ampuah Ta. Tiok tahun malah aie ampuah. Kini ala ampek tahun liza ndak ado mancaliak aie ampuah di kampuang wak do. Liza tadaagak ta. Liza nio baranang-ranang bantuak dulu”. Jawabku enteng.
“Eh lisuik (panggilan pelesetan namaku dari orang-orang terdekatku kalau sudah kesal) urang di kampuang tu alah kedinginan ha. Aie naiak sa anggo pinggang, di Kambang sampai ka Lakitan jalan putuih. Ha, anangilah dek kau jalan dari Kambang sampai Lakitan tu, buliah ndak pueh bana hati kau baranang”. Balas sepupuku masih dengan kata-kata mutiara. Kali ini membuat hatiku sedikit ciut. Rasa khawatir menyelimuti hatiku. Banjir kali ini berarti sangat serius. Biasanya air yang meluap hanya sampai lutut, tapi kali ini sampai pinggang. Kalau jalan dari Kambang sampai Lakitan putus, berarti itu cukup jauh, lebih kurang 2 km. YA Allah, untuk pertama kalinya aku sangat cemas memikirkan negeri sejuta pasirku. Bagaimanakah kondisinya hari ini? Terbayang wajah Amakku yang kedinginan ditengah-tengah air yang sedang meluap.Bagaimanakah kondisi Amakku? Mak, Liza mau pulang Mak. Ya Allah, bagaimanakah kondisi Amakku? Terbayang wajah adikku satu-satunya, apakah yang sedang dilakukannya saat ini? Terbayang bangunan rumah kami yang sudah reot di makan usia, apakah bangunan satu-satunya yang kami miliki itu masih berdiri disana? Atau jangan-jangan telah habis diseret air banjir? Ya Allah, tidak pernah aku dilanda rindu yang teramat sangat untuk pulang, kecuali pagi ini. Aku ingin pulang. Aku ingin lihat tanah kelahiran tumpah darahku. Ya Allah, apa ini ya Allah? Ujian dariMu kah? Atau ini teguran dariMu?
Tampa ba-bi-bu, aku matikan telfon dari sepupuku dan cepat ku tekan tombol menu di HPku ke bawah, kucari sederet nama di sana dan kutekan tombol hijau. Cemasku semakin menjadi, karena nomor yang aku tekan tidak bisa dihubungi, yang terdengar hanya suara operator yang mendayu yang memberitahukan kalau nomor yang saya tuju tidak dapat dihubungi. Ya Allah, lalu bagaimana hamba mendapatkan informasi tentang keluarga besar hamba? Kucoba mengirimkan SMS ke nomor adikku, tetap tidak bisa, selalu gagal. Aku semakin dirundung rasa cemas. Ya Rabbi, hamba mohon izinkan hamba, hamba ingin tau bagaiman kondisi amak, adik, etek, ayek udo, lutfi, diva, Hafidz dan semuanya. Ya Allah, bagaimanakah kondisi mereka? Aku ingin Pulang. Mak, Liza ingin pulang Mak.
Kembali ku coba menghubungi, kali ini yang aku hubungi nomor etekku, setelah mencoba beberapa kali, akhirnya menyambung juga. Sedikit legah di hati, karena yang pertama kali aku dengar suara si kecil Hafidz yang baru berusia 3 bulan. Aku tanyakan tentang semua yang aku khawatirkan. Alhamdulillah Amakku tidak apa-apa, semalam beliau bersama etek ngungsi di gudang kayu Bapak yang ditinggikan. “Tidak ada satupun yang perlu dicemaskan. Air sudah surut kembali yang tersisa saat ini adalah lumpur setinggi mata kaki di dalam rumah”. Terang etekku. Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih memberikan kesempatan kepada hamba untuk mengungkapkan rasa cinta hamba kepada mereka semua.  
Tapi hatiku masih belum tenang, aku coba menghubungi kawan-kawan yang mungkin sudah ada dikampung saat ini. Dan aku coba menelusuri informasi lewat internet, sungguh sebuah kenyataaan yang sangat menohok hati ketika aku temukan salah satu berita di antara.com, ternyata banjir yang melanda kampung halamanku merupakan banjir terbesar sepanjang 50 tahun belakangan. Ya Allah… Lagi-lagi hatiku merintih. Aku rindu kampung halamanku. Seperti apakah kondisinya saat ini? Perkampungan nyiur melambai itu sudah porak porandakah? Negeri sejuta pasirku, sudah terkikiskah? Aku ingin pulang. Aku ingin melihat kondisinya. Tapi bagaimana caranya bisa sampai kesana? Jalur satu-satunya menuju ke kampung halamanku telah lumpuh di terjanag banjir. Hanya ada satu jalan menuju kesana dan itupun telah terputus.

Laman

Total Tayangan Halaman


Pencarian itu dimulai dari rindo orang tua... Jika menginginkan jalan Tuhan, maka carilah ridho orang tua...

Entri Populer

About Me

Foto saya
Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia
Saya hanyalah seorang insan yang tengah mencari jati diri... dalam rangka memperbaiki kehambaan diri kepada sang Khalik...

Cari Blog Ini